Merajut Kisah Momais di Antara Boltim-Manado

Oleh: Mat Rey Kartorejo
Mentari pagi mulai memancarkan pesona sinar pertama dan terindah di Desa Bulawan, Kecamatan Kotabunan.
Wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow Timur tampak cerah. Para nelayan mulai kembali ke rumah setelah semalam menaklukkan laut. Ada yang membawa hasil tangkapan, ada juga hanya membawa keranjang berisikan tempat makanan.
Mereka lewat di depan mata. Aku terus menatap mereka sampai ke ujung jalan, kemudian kembali duduk di bangku yang terbuat dari bambu sembari mengutak-atik gadget.
Gawaiku tiba-tiba berdering. Kulihat, ternyata Mikdat, teman saya yang menghubungi. Dia menanyakan soal rencana keberangkatan Komunitas Momais ke kota Manado.
Tak lama ia menemuiku di rumah. Bercakap sejenak, kemudian pria yang akrab disapa Hagel ini kembali ke rumahnya di desa Kotabunan dengan kendaraan roda empat miliknya.
Hari itu, kami yang tergabung dalam komunitas penulis Momais akan pergi ke Manado. Perjalanan ini sudah kami rencanakan sejak semalam.
Tujuan keberangkatan ke kota “Tinutuan”, untuk melakukan liputan salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Boltim, Samsudin Dama, yang mengikuti ujian tesis di Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado.
Rabu, 18 Januari sekira pukul 10.20 Wita, tanah Totabuan kami tinggalkan. Berangkat ke kota Manado menggunakan mobil Toyota Avanza milik Mikdat Ligawa.
Mikdat mengambil alih langsung kemudi mobil. Aku duduk di sampingnya. Di bangku kedua, ada Dio dan Rinto. Bangku belakang ditempati Jumadi Bawenti.
Sepertinya Mikdat adalah pengemudi yang handal. Mobil yang ia kendarai melaju dengan kecepatan tinggi. Tak lama kemudian, pukul 11.29 Wita, kami tiba di Desa Basaan, Kecamatan Belang, Kabupaten Minahasa Tenggara.
Mikdat sepertinya tidak puas dengan laju mobil yang ia kemudi. Ia terus memperlihatkan keahliannya dan terus tancap gas. Sepertinya kaki kanannya sangat menyayangi pedal gas mobil. Itu kami rasakan karena mobil yang kami tumpangi tidak pernah pelan dan terus melaju kencang.
Saat melintasi desa Mangkit, suara Rinto terdengar. Sepertinya ia tak bisa minum air minaral yang digenggamnya lantaran mobil terlalu melaju dengan kecepatan di atas 80 kilo meter per jam.
“Sedang mo minum aer stengah mati no. Jaga tamaso di idong,” kata Rinto sambil terbahak-bahak.
Mikdat pun ikut tertawa. Beberapa menit kemudian kami tiba di desa Belang. Si supir mengambil sebatang rokok dan menghisapnya untuk menambah konsentrasi saat mengemudi. Ia menambah volume musik.
Linkin Park mengiringi perjalan yang mengasyikkan itu.
Setelah tiba di desa Noongan, kami mampir di salah satu minimarket pada pukul 12:24 Wita. Kami membeli minuman dingin.
Berhenti sejenak dan menyulut rokok, kemudian melanjutkan perjalanan.
Musik rock Amerika yang berasal dari Agoura Hills, California, terus mengiringi perjalanan. Sepertinya Mikdat sangat suka dengan energi Linkin Park. Hari itu dia begitu bersemangat.
Dalam perjalanan, sedikit bercanda. Aku menyebut, “Mikdat Kaki Timah Totabuan.”
MendengarĀ ucapanku itu, tawa Mikdat pecah. Kami pun ikut terbahak.
Kacang Kawangkoan
Perjalanan terus berlanjut. Beberapa desa di tanah Minahasa telah dilalui. Ada satu tempat ketika dilalui pasti akan tertarik dengan oleh-oleh khas desa tersebut. Namanya Kawangkoan. Desa ini terkenal dengan kacang. Ada beberapa jenis kacang di sini. Tapi yang paling saya suka, jenis kacang batik sangrai.
Pada pukul 12:50 Wita, kami singgah diĀ Kawangkoan. Tujuan jelas, membeli kacang.
Rinto, Dat, dan Dio, turun dari mobil. Aku dan Jumadi tetap duduk manis.
Berapa menit kemudian, mereka kembali ke mobil membawa kacang batik Kawangkoan. Sepanjang perjalanan, penganan ringan itu menemani kami.
Mikdat menambah kecepatan mobil, sebab kami akan menjemput Rikson Karundeng, di Kolongan, Tomohon. Tak menunggu lama, hawa sejuk kota Tomohon sudah terasa. Melewati beberapa lorong, akhirnya kami tiba di rumah Bos Rikson.
Kami mampir sejenak. Jumadi, Mikdat, dan Rinto ke kamar kecil untuk buang air kecil. Aku pun mengikuti mereka. Usai melepas cairan yang tertahan selama beberapa waktu di perjalanan, perjalanan kembali dilanjutkan.
Kali ini Bos Rikson sudah bersama kami. Ia duduk di samping Mikdat.
Di dalam mobil kami berbincang tentang motor-motor keren yang dijual dengan harga terjangkau.
Bos Rikson memperlihatkan jenis-jenis motor di balik handpone-nya. Motor cc besar, namun dijual dengan harga yang sangat terjangkau. “Coba lia, motor besar depe harga murah.”
Mendengar penjelasan itu, aku sedikit tergiur. Terus menatap beberapa jenis motor di handphone Bos Rikson. Berharap suatu saat aku akan membeli satu unit motor keren itu.
Setelah berbicara panjang lebar di dalam mobil, beberapa menit kemudian akhirnya kami tiba di kota Manado.
Kami langsung menuju kampus IAIN Manado, sebab tujuan utama meliput acara Samsudin Dama yang sedang mengikuti ujian tesis di Pascasarjana di IAIN Manado.
Setibanya di sana, terlihat Samsudin Dama sangat senang. Ia masih berdiri dan menyampaikan pesan-pesan positif di hadapan dewan penguji.
Usus perut terasa mulai protes. Berharap diberi makanan. Tak lama menikmati AC dan suasana tegang di ruang ujian, kemudian aku berjalan selangkah demi selangkah ke meja makan yang sudah disediakan dan mengambil makanan. Teman-teman komunitas juga ikut menghampiri meja makan dan mengambil hidangan yang sudah disediakan.
Usai makan bersama, kami berbincang di depan gedung pascasarjana bersama Samsudin Dama.
Samsudin terlihat sangat bahagia, sebab hari itu dia berhasil meraih gelar Magister Ekonomi. Momen bahagia itu kami abadikan dengan foto bersama.
Beberapa jam kami berbincang tentang perjuangan wakil rakyat Boltim itu untuk menempuh pendidikan S2, berswafoto. Jelang Magrib, kami meninggalkan kampus IAIN Manado. Menuju Wisma Samsudin Dama di Kelurahan Karame, Kecamatan Singkil. (*)