Feature

Progres Komunitas Momais, ‘Ayam Stelan Tutup’ dan Nasi Kuning Gorontalo


TimurTimes.com – Sabtu 4 September 2021, aku berbaring di lantai beralaskan tikar tipis. Tiba tiba terdengar suara laki-laki dari luar rumah ku.

“Assalamualaikum”. Aku yang lagi berbaring di depan TV lagi asik menonton acara YouTube, membalas salam dan langsung melihat siapa yang datang. Ternyata Paman Utung. Ku ambil handphone ku serta sebungkus rokok dan duduk di samping Paman Utung.

Desa Bulawan malam itu cuacanya  hujan. Kami berencana akan memasak ayam yang hanya dibuat dengan bumbu sederhana. Setelah hujan berhenti, ku katakan ke Paman Utung biar tidak repot, ayamnya dibuat masakan biasa saja.

“Bekeng ayang cuma mo stelan tutup jo. Nda usah bekeng rampa-rampa bebe, stelan tutup lebeh capat”.

Stelan tutup itu artinya ayam yang hanya dibumbui beberapa jenis rempah dan ditutup sampai dangingnya matang.

Ucapanku itu direspon oleh Paman Utung.

Dio Djubair yang mengaku jadi koki malam itu lagi pulang ke rumahnya dengan alasan mandi. Ia begitu lama. Sudah beberapa menit, Dio belum juga datang. Di telpon nomornya tidak aktif. Sedikit berbincang, Dio belum juga datang. Paman Utung kemudian menghubungi Dio melalui ponselnya, tapi tidak aktif juga. Akhirnya aku dan Paman Utung memutuskan pergi ke warung Mikdat Ligawa. Warung Mikdat Ligawa terletak di Desa Kotabunan, samping Kantor PT ASA.

Pukul 22.30 Wita, kami sampai di warung milik Dat Ligawa. Dua kursi sudah tersedia, Gazali keluar dari rumahnya dan menyapa kami. Ia langsung mengambil kursi dan menghampiri aku dan Paman Utung. Dio yang tadinya ditelpon tidak ada jawaban, tiba-tiba muncul di depan kami dengan Motor Yamaha Fino warna Coklat. Dio kemudian memarkirkan motornya tepat di depan kami. Usai memarkirkan kendaraannya, ponsel Dio berdering. Andri salah satu Komunitas Momais menghubungi Dio menanyakan keberadaan kami. Selang beberapa menit, Andri sudah bersama kami di tempat sederhana milik salah satu pewarta Boltim.

Rencana yang sudah beberapa hari,  akhirnya gagal. Tadinya mau masak ayam, kini berubah jadi makan Nasi Kuning (Naskun) Gorontalo, buatan Jein Kasim dan Mikdat Ligawa.

“Makang Nasi Kuning”?

Pertanyaan Mikdat Ligawa itu membuat perutku jadi sedikit lapar. “Boleh, klu ada no”. jawab ku.

Dua piring Nasi kuning Gorontalo langsung disajikan pria yang akrab disapa Dat itu. Dat kemudian menawarkan Ikan bakar rica untuk menambah selera makan. Aku yang tadinya sudah merasa lapar, berdiri mengambil Nasi Kuning untuk mengganjal perutku. Kami pun makan Nasi Kuning Gorontalo dengan bumbu yang unik, ‘Nasi Kuning Ikan Bakar Rica’.

Dio dan Andri Muhama yang duduk tepat di depan warung, memilih minum kopi dan terus mengotak atik android mereka.

Alunan lagu Manado bertajuk ‘Mama Ani Jadi Mama Tiri’ mengiringi makan malam kami itu. Nasi Kuning belum habis dimakan, Dat sudah membuat empat cangkir kopi. Tiga kopi hitam dan satunya lagi kopi Luwak, itu untuk Paman Utung.

Selesai menikmati Nasi Kuning racikan salah satu pria yang tergabung dalam Komunitas Momais itu, aku memanggil Dat.

“Mana rokok dua bungkus”.

Dat yang duduk di balik lemari kecil mengambil apa yang ku minta dan menyodorkan kepada ku. Kami pun memulai obrolan ringan.

KOMUNITAS MOMAIS DAN BAHASA MONGONDOW

Di tempat yang cukup strategis, malam itu kami bicara soal progres komunitas Momais kedepan. Latihan menulis feature jadi inti perbincangan malam itu.

“Torang besok mo bekeng pelatihan menulis feature ne,” kata Gazali Ligawa.

Sepertinya pria yang akrab disapa Gali ini sangat berhasrat menulis feature. Api semangatnya terlihat begitu nampak di wajahnya.

“Ok Li. Mantap ngana pe usulan ini. Besok torang blajar sama-sama,” kata ku, menjawab usulan Gazali.

Usulan Gali tadi juga mendapat respon positif dari teman-teman Komunitas Momais yang lain.

Satu jam berlalu, pembahasan beralih. Tadinya tentang progres Komunitas Momais, kini Bahasa Mongondow yang jadi bahan obrolan. Saat membahas tentang Bahasa Mongondow, suasana sedikit berubah. Alunan lagu Manado yang terdengar samar, berganti dengan musik Dana-Dana yang di populerkan oleh Abang Hatam.

Andri dan Dio yang duduk di depan terbahak-bahak. Dio mulai menggerakkan badannya. Ia begitu menikmati lagu khas Totabuan itu. Sementara Dat berada di samping kanan kami, sesekali berdiri dari tempat duduknya dan melayani pembeli yang berkunjung di warungnya.

Di warung tempat Nasi Kuning Gorontalo, sekitar satu jam lebih kami menghabiskan waktu di situ. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 24.00 Wita. Andri yang sedang asik menikmati lagu bernuansa Mongondow terhenti sejenak. Aku, Dio, dan Paman Utung berdiri dari tempat duduk plastik berwarna hijau dan pamitan.

“Somo pulang jo so jam 12 Malam ini, nanti jo mo sambung besok,” ujar Paman Utung.

Aku dan Dio ke arah Bulawan, Paman Utung pulang ke Kotabunan Barat, sementara Andri masih bertahan bersama Dat dan Gazali. Bersambung…

Penulis: MRK/Papa Irenne

 

 

 

 

 

BERITA TERKAIT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button